Kenaikan Pajak Impor 200 Persen untuk Produk China, Tantangan Baru bagi Pelaku Usaha
BI-Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) tengah mempertimbangkan menaikan pajak impor hingga 200 persen untuk barang-barang dari China. Tujuannya, untuk menyikapi banjirnya impor dari Negeri Tirai Bambu termasuk pakaian, baja, tekstil, dan lain sebagainya.
Hal tersebut disampaikan Zulkifli Hasan Mendag, Jumat (1/7/2024) lalu, yang menyebut kebijakan itu sebagai ujung dari perang dagang China dengan negara-negara penolak impornya. Selain itu, peningkatan bea masuk itu sebagai jalan keluar untuk perlindungan atas barang-barang yang deras masuk ke Indonesia.
Wacana tersebut jelas dapat beragam respon dan sorotan dari berbagai pihak. Di satu sisi, para pelaku UMKM lokal mendukung, di sisi lain pelaku importir khawatir kebijakan itu berpotensi mengundang barang masuk secara ilegal karena besarnya biaya bea yang dikenakan.
Terkait hal tersebut, Medy Prakoso Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Jawa Timur turut memberikan pandangannya. Menurutnya, wacana itu sebetulnya bukan hal baru.
“Kami sudah terbiasa dengan berbagai macam pajak masuk. Namun, yang menjadi perhatian adalah bagaimana kebijakan ini akan mempengaruhi pasar dan sektor usaha kecil,” ujar Medy dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (1/7/2024).
Dari segi perputaran ekonomi, menurutnya apa yang dilakukan pemerintah sudah bagus arahnya karena sebagian besar impor Indonesia, sekitar 78 persennya adalah bahan baku yang selanjutnya bakal diolah di dalam negeri.
Kemudian, dari jumlah itu, sebanyak 85 dari 78 persen bahan baku impor tersebut, semuanya diserap dan diolah kembali menjadi produk jadi untuk diekspor.
“Memang bagus arahnya, pemerintah melihat ini adalah arahnya sudah bagus dimana 78 persen tadi diimpor untuk dikelola di Indonesia. Hanya memang perlu memperbesar kandungan dalam negerinya yang harus diperbesar. Lalu kemudian tenaga kerja yang di dalam negeri harus diperbanyak,” ujarnya.
Sementara terkait banjirnya impor dari China, sebenarnya menurut dia, bukan karena faktor produksi Negeri Tirai Bambu itu yang oversupply, namun tak lain karena output yang makin besar.
Output tersebut dipicu konflik global baik Timur Tengah maupun Eropa yang membuat banyak negara-negara memindahkan produksinya ke China untuk pasar Asia. “Jadi kantor mereka aja ada di Eropa, tapi pabrik mereka ada di China,” ungkapnya.
Meski demikian, Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan GINSI itu juga mengakui bakal ada dampak yang dirasakan oleh para pelaku UMKM.
“Meskipun UMKM kita banyak yang sudah besar, dengan nilai usaha di atas Rp500 juta rupiah, mereka akan merasakan dampaknya. Harga bahan baku yang naik akan membuat mereka kesulitan bersaing,” tambah Medi.
Neraca perdagangan Indonesia menunjukkan ketidakseimbangan yang signifikan. Saat ini, ekspor Indonesia berada di angka sekitar 1,9 miliar USD, sementara impor mencapai sekitar 1,7 miliar USD.
Dengan rencana kenaikan pajak impor, ada kekhawatiran bahwa harga barang impor di pasar domestik akan naik, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi daya beli masyarakat.
“Impor kita telah menurun karena berbagai regulasi yang diterapkan pemerintah, tetapi neraca perdagangan tetap menjadi tantangan. Keseimbangan ini penting untuk menjaga stabilitas ekonomi,” jelas Medi.
Medi juga menyinggung kemungkinan untuk mulai mencari alternatif sumber impor dari negara lain. Apalagi, saat ini mencari alternatif dari negara lain cukup sulit karena banyak pabrik besar dunia berada di China.
“Namun, kita harus tetap mencari peluang di negara-negara lain yang mungkin bisa menawarkan bahan baku dengan harga lebih kompetitif,” ujarnya.
Di sisi lain, pemerintah diharapkan dapat memberikan dukungan lebih kepada sektor ekspor. “Dengan nilai tukar yang menguntungkan, eksportir kita seharusnya bisa memanfaatkan peluang ini untuk meningkatkan ekspor. Hal ini penting untuk memperbaiki neraca perdagangan kita,” tutup Medi.**