Protes SKB Angkutan Lebaran, Pengusaha Truk Ancaman Setop Operasi

BI-Pelabuhan Tanjung Priok, yang merupakan pelabuhan tersibuk di Indonesia, diprediksi bakal menghadapi penumpukan barang, seiring dengan rencana berhentinya operasi angkutan barang yang diinisiasi oleh Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo).
Rencana tersebut menyusul penolakan terhadap Surat Keputusan Bersama (SKB) Angkutan Barang untuk periode Lebaran 2025 yang membatasi operasional angkutan barang dari 24 Maret hingga 8 April 2025.
Dalam SKB tersebut, pembatasan angkutan barang berlaku selama dua minggu, yang otomatis berdampak pada kelancaran distribusi barang dan logistik di pelabuhan. Meski layanan kapal dan bongkar muat barang di pelabuhan tetap berlangsung, dihentikannya operasi truk pengangkut barang berpotensi menyebabkan penumpukan barang dan peti kemas di pelabuhan. Jika itu terjadi, maka biaya logistik akan meningkat akibat ketidakseimbangan antara volume barang yang terus masuk dan kapasitas pengangkutannya.
Aptrindo telah menyatakan akan melakukan penghentian operasional truk pada 20 Maret 2025 hingga 8 April 2025, sebagai bentuk protes terhadap SKB tersebut.
Ketua Umum Aptrindo, Gemilang Tarigan, mengkritik pembatasan yang terlalu lama, yang menurutnya tidak sesuai dengan tujuan Pemerintah untuk mendongkrak perekonomian nasional. “Jika ekspor impor pun dibatasi, ini justru kontraproduktif dengan upaya pertumbuhan ekonomi,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (14/3/2025).
Sementara itu, Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Jakarta mengusulkan agar aturan pembatasan ini ditinjau ulang. Ketua ALFI Jakarta, Adil Karim, menyatakan bahwa durasi pembatasan dua minggu terlalu lama dan dapat merugikan sektor logistik. Ia mengusulkan agar pembatasan hanya diberlakukan dari H-4 hingga H+4 Lebaran untuk menjaga kelancaran arus barang tanpa mengganggu arus mudik.
Pihak Dewan Pemakai Jasa Angkutan Indonesia (Depalindo) dan Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) juga menyuarakan kekhawatiran mereka atas SKB ini. Ketua Umum Depalindo, Toto Dirgantoro, mengatakan bahwa aturan ini bisa melemahkan kinerja ekspor dan menambah biaya logistik, karena pelabuhan dan kegiatan bongkar muat tetap berjalan, sementara angkutan barang dihentikan.
Toto menyarankan agar pemerintah mengatur lebih fleksibel, misalnya dengan memberikan izin operasional terbatas pada rute dan jam tertentu, tanpa mengganggu kelancaran ekspor dan impor.
Khawatir terjadinya ‘closing time’ yang menghambat pengapalan barang, mereka meminta agar kegiatan ekspor tetap bisa berjalan, dengan penyesuaian di sisi transportasi darat, seperti pengaturan rute atau jam operasional. Pelabuhan Tanjung Priok, dengan hinterland yang mencakup wilayah Jabodetabek dan sekitarnya, masih memungkinkan pengaturan semacam ini.***