BI-Indonesia-Ekonom menilai rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 tidak tepat. Kebijakan ini dinilai akan semakin menekan daya beli kelas menengah bawah yang sudah terhimpit kenaikan bahan pangan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai kebijakan ini akan semakin menekan daya beli kelas menengah RI. Padahal, kata dia, kelas menengah saat ini tengah dihadapkan pada kenaikan harga pangan, terutama beras, suku bunga tinggi, serta sulitnya mencari pekerjaan.
“Ini kenaikan tarif PPN yang sangat tinggi bahkan dibanding akumulasi inflasi. Kelas menengah sudah dihantam kenaikan harga pangan terutama beras, suku bunga tinggi, sulitnya cari pekerjaan, ke depan masih ditambah penyesuaian tarif PPN 12%,” kata Bhima dikutip Selasa, (19/3/2024).
Dia khawatir kenaikan PPN akan menyebabkan kemampuan belanja masyarakat menurun. Penjualan produk sekunder, kata dia, seperti elektronik, kendaraan bermotor, sampai kosmetik dan skincare bisa melambat.
“Sasaran PPN ini kelas menengah dan diperkirakan 35% konsumsi rumah tangga nasional bergantung dari konsumsi kelas menengah,” kata Bhima.
Bhima mengatakan kebijakan ini juga akan berimbas ke pelaku usaha. Penyesuaian harga akibat naiknya tarif PPN, kata dia, akan berimbas ke omzet dan pada akhirnya terjadi penyesuaian kapasitas produksi hingga jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan menurun. “Khawatir tarif PPN naik bisa jadi PHK di berbagai sektor,” kata dia.
Sebelumnya, kepastian mengenai kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 dikonfirmasi oleh Menteri Koordinator Airlangga Hartarto. Penerapan tarif baru ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan yang telah disahkan sejak 2021.**