Wamen PKP: Tanah Perkotaan Makin Mahal, Perumahan Vertikal Solusinya

BI-Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (Wamen PKP) Fahri Hamzah, menegaskan pembangunan perumahan vertikal merupakan langkah strategis untuk mengatasi persoalan kawasan kumuh di perkotaan.
Menurutnya, mahalnya harga tanah di pusat kota membuat banyak warga menumpuk di permukiman padat yang akhirnya berubah menjadi kawasan kumuh.
“Perumahan vertikal ini sebenarnya bagus sekali untuk menata kawasan kumuh, karena kawasan kumuh itu tanahnya mahal, makanya kumuh, dia numpuk,” kata Fahri Hamzah dalam acara Peluncuran Dokumen Kebijakan Perkotaan Nasional 2045, Bappenas RI, ditulis Selasa (16/9/2025).
Ia menekankan, konsep perumahan vertikal tidak selalu harus berbentuk gedung pencakar langit. Model rumah susun sederhana bertingkat rendah dengan 3–5 lantai dinilai cukup ideal untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat menengah ke bawah.
“Tapi kalau dia bikin vertikal dan vertikal itu tidak harus high rise tapi juga low rise, 3 sampai 5 lantai,” ujarnya.
Menurutnya, dengan pendekatan ini, pemerintah berharap dapat menekan laju pertumbuhan kawasan kumuh sekaligus menyediakan ruang hidup yang lebih sehat dan manusiawi bagi masyarakat kota.
Fahri menambahkan, pembangunan perumahan vertikal akan dirancang dengan memperhatikan aspek lingkungan dan kebutuhan ruang publik. Lantai dasar hunian vertikal diusulkan tidak digunakan untuk tempat tinggal, melainkan dijadikan area publik terbuka.
“Lantai pertamanya itu dikosongkan supaya tetap menjadi public space. Maka saya kira kalau secara masif ini kita lakukan ujarnya.
Desain semacam ini juga diyakini dapat meningkatkan interaksi sosial warga dan mencegah kawasan menjadi terasing. Konsep hunian vertikal yang ramah lingkungan ini diharapkan dapat menjadi wajah baru kawasan perkotaan sekaligus meningkatkan kualitas hidup warganya.
Adapun Fahri menyampaikan, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) hanya mencatat backlog dalam dua kategori, yaitu masyarakat yang tidak memiliki rumah dan masyarakat yang tinggal di rumah tidak layak huni.
Namun, dalam kajian lebih lanjut, Kementerian PKP menemukan adanya lapisan backlog ketiga. Kategori ini mencakup keluarga yang hidup di rumah tidak layak, tetapi rumah tersebut juga bukan milik mereka. Kondisi ini membuat beban perumahan semakin kompleks.
“Tapi begitu kami gali lagi ternyata itu ada backlog ketiga, yaitu backlog orang yang pada saat yang sama dia tinggal di rumah yang tidak layak tapi rumah itu pun bukan rumah dia. Dan itu ada 6 juta keluarga yang tinggal di rumah yang tidak layak dan rumah itu bukan punya dia,” pungkasnya.***