Produk Murah Asal China Membanjiri Indonesia, Industri Lokal Tertekan

0
1

BI-Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China turut mengguncang arus perdagangan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dampaknya, hingga akhir Mei 2025, produk asal China semakin membanjiri pasar domestik.

Data dari General Administration of Customs China mencatat, ekspor Negeri Tirai Bambu ke negara-negara ASEAN pada Mei 2025 mencapai US$ 58,37 miliar, tumbuh 15% dibandingkan Mei 2024 yang sebesar US$ 50,83 miliar.

Indonesia mencatat salah satu lonjakan tertinggi. Impor dari China pada Mei 2025 mencapai US$ 7,1 miliar atau sekitar Rp 115 triliun (kurs Rp 16.277), naik 13% dari periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 6,3 miliar.

Secara kumulatif, impor Indonesia dari China selama Januari–Mei 2025 mencapai US$ 33,45 miliar, meningkat 17% secara tahunan. Sebaliknya, ekspor China ke AS pada periode yang sama turun 10% menjadi US$ 177,41 miliar.

China memang telah menjadi negara asal impor terbesar bagi Indonesia. Sepanjang 2024, nilai impor dari China mencapai US$ 62,88 miliar atau setara 31,13% dari total impor nasional.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas impor dari China merupakan produk nonmigas. Selama Januari–April 2025, nilainya mencapai US$ 25,77 miliar atau 39,48% dari total impor nasional.

Tiga komoditas utama yang diimpor dari China meliputi mesin dan peralatan mekanis (HS 84), mesin listrik dan perlengkapannya (HS 85), serta kendaraan dan komponennya (HS 87).

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengungkapkan bahwa volume impor benang filamen terus meningkat tiap tahun.

Selama Januari–April 2025, impor benang filamen terdiri atas drawn textured yarn (DTY) sebanyak 41.658 ton, partially oriented yarn (POY) sebesar 36.582 ton, dan spin drawn yarn (SDY) sebanyak 22.286 ton.

“Selain benang, kain mentah, kain jadi, hingga garmen juga masuk ke pasar domestik dengan harga murah. Sekitar 90% berasal dari China dan jumlahnya masih terus naik tahun ini,” ujar Redma, Senin (16/6).

Ia menambahkan, kondisi ini membuat utilisasi produksi industri benang filamen dalam negeri merosot menjadi hanya 45%, karena kalah bersaing dengan harga murah produk impor.

“Harga produk China murah karena adanya kebijakan dumping. Sudah saatnya pemerintah menerapkan bea masuk antidumping (BMAD). Kami mengusulkan tarif 20% agar tercipta persaingan yang adil di industri tekstil,” tegasnya.

Ketua Asosiasi Pengusaha Sepeda Indonesia (Apsindo), Eko Wibowo Utomo, juga mengeluhkan hal serupa. Ia mengatakan pasar sepeda di Indonesia didominasi produk impor dari China. “Porsinya bisa mencapai 60%-70%, lebih besar dari produksi dalam negeri,” jelasnya.

Untuk mengatasi hal ini, Apsindo mendorong pemerintah menerapkan sistem pembatasan impor melalui regulasi seperti Standar Nasional Indonesia (SNI) yang mendukung produk lokal.

“Aturannya jangan terlalu rumit. Buat sistem penyaringan impor berbasis SNI. Ini cukup efektif menekan masuknya produk murah,” ujar Eko.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, memperkirakan defisit perdagangan Indonesia dengan China dapat membengkak hingga Rp 185 triliun pada 2025, naik dari Rp 163 triliun pada 2024.

“Indonesia menjadi target limpahan produk China yang tertahan masuk AS karena perang tarif,” ujarnya.

Ia menyarankan pemerintah segera mengambil langkah negosiasi dagang dengan China yang selama ini dianggap pasif dalam merespons isu perdagangan bilateral.

Senada, Ekonom Core Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai banjir produk China menunjukkan lemahnya perlindungan pasar domestik. Ia mengingatkan bahwa melonjaknya ekspor China ke kawasan ASEAN, termasuk Indonesia, harus menjadi perhatian serius.

“Di tengah daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih, produk murah dari China bisa cepat menguasai pasar dan menekan pelaku usaha lokal. Ini tidak hanya menunjukkan daya saing produk China yang terus membaik, tapi juga lemahnya perlindungan pasar kita,” tandas Yusuf. ***

Leave a reply