Penurunan Tarif PPN Diyakini Gairahkan Daya Beli dan Sektor Riil

BI-Rencana pemerintah menurunkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) diyakini dapat menjadi katalis baru bagi pemulihan daya beli dan penguatan ekonomi riil nasional. Apabila kebijakan ini terealisasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 diperkirakan bisa menembus di atas 5,3%.
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian menyampaikan dukungannya terhadap langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang tengah mengkaji penurunan tarif PPN. Menurutnya, kebijakan ini merupakan strategi penting untuk mengatasi stagnasi daya beli yang menjadi hambatan utama pemulihan ekonomi dalam dua tahun terakhir.
“Sejak penyesuaian PPN dilakukan beberapa waktu lalu, terjadi pergeseran pola konsumsi rumah tangga. Porsi tabungan dan dana pihak ketiga milik sektor rumah tangga terus menurun, menandakan tekanan pada kemampuan konsumsi masyarakat,” ujar Fakhrul, Rabu (15/10/2025).
Fakhrul menilai, penurunan PPN tidak hanya akan berdampak pada peningkatan konsumsi, tetapi juga membantu membangun struktur ekonomi nasional yang lebih sehat dan inklusif. Ia memaparkan, terdapat dua arah dampak positif dari penurunan tarif PPN.
Pertama, penurunan PPN akan menggairahkan sektor riil dan konsumsi rumah tangga. Dengan harga barang dan jasa yang lebih rendah, daya beli masyarakat meningkat sehingga mendorong permintaan domestik. Dampaknya akan terasa luas, terutama pada sektor padat karya seperti makanan-minuman, ritel, pariwisata, dan logistik.
Kedua, penurunan PPN memberikan insentif bagi pelaku usaha untuk bertransformasi ke sektor formal. Dengan beban pajak konsumsi yang lebih ringan, transisi dari aktivitas ekonomi informal ke formal menjadi lebih menarik secara ekonomi.
“Ini bukan hanya soal pajak yang lebih rendah, tetapi juga soal insentif bagi pelaku usaha kecil untuk masuk ke ekosistem formal dan memperoleh akses pembiayaan yang lebih besar,” jelasnya.
Fakhrul menegaskan, penurunan PPN tidak serta merta berarti penurunan pendapatan negara. Dalam jangka menengah, kebijakan ini justru berpotensi memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan fiskal karena publik melihat arah kebijakan yang pro-rakyat dan pro-sektor riil.
Namun demikian, ia mengingatkan pentingnya langkah serius di sisi kepatuhan dan reformasi fiskal agar keberlanjutan anggaran tetap terjaga. Fakhrul menyoroti dua hal utama yang perlu diperkuat, yakni memformalkan kembali sektor-sektor yang meningkat ilegalitasnya, seperti peredaran rokok tanpa pita cukai dan perdagangan lintas batas yang mengalami miss-invoicing, serta membangun sistem perpajakan serta kepabeanan yang berkeadilan, dengan pendekatan compliance by design, tidak semata penegakan hukum, tetapi juga kemudahan dan transparansi sistem.
“Upaya meningkatkan penerimaan negara tidak harus melalui tarif yang tinggi, tetapi lewat sistem yang adil dan dipercaya. Apabila ekonomi formal tumbuh, penerimaan pajak justru meningkat dengan sendirinya,” tegas Fakhrul.
Ia menambahkan, kombinasi antara penurunan PPN, pemulihan daya beli, dan langkah formalisasi sektor informal berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi nasional melampaui 5,3% pada 2026.***