Mau Wajibkan Bioetanol E10, RI Rawan Kecanduan Impor Etanol

BI-Peneliti independen Akhmad Hanan menilai kapasitas terpasang pabrik bioetanol di Indonesia masih belum mumpuni untuk memasok kebutuhan bioetanol 10% dalam rencana program mandatori E10, sehingga risiko banjir impor etanol pun bisa terbuka lebar.
Dalam kaitan itu, dia menagih penjelasan pemerintah terkait dengan apakah pasokan bioetanol untuk E10 akan dipenuhi dari dalam negeri atau justru impor.
Akhmad menjelaskan, kapasitas terpasang produksi bioetanol di Indonesia pada 2024 masih sekitar 303.000 kiloliter (kl), sementara realisasi produksi sepanjang tahun lalu hanya sekitar 161.000 kl.
Di sisi lain, kata dia, program E10 akan membutuhkan sekitar 890.000 kl bioetanol jika ingin dijalankan pada 2026. Untuk itu, dia mempertanyakan rencana yang akan ditempuh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan E10 tersebut.
“Pertanyaannya, gap ini apakah akan diisi oleh etanol produksi dalam negeri atau bagaimana? Saya rasa pemerintah belum ada statement yang resmi dan baru pencanangan memulai program E10,” kata Akhmad ketika dihubungi, Senin (13/10/2025).
Selain produksi di Indonesia masih terbatas, bioetanol yang diproduksi di dalam negeri sebagian besar masih berbasis pada tetes tebu atau molasses.
Di sisi lain, pabrik tebu yang beroperasi masih relatif sedikit dan produksinya lebih banyak terserap untuk industri nonenergi.
Tak ayal, Akhmad menegaskan Indonesia masih perlu meningkatkan infrastruktur dan kapasitas produksi jika ingin kebutuhan bioetanol untuk program E10 dipasok sepenuhnya dari dalam negeri.
“Kalau program E10 ini benar benar akan diterapkan pada 2026, kebutuhan nasional bisa mencapai lebih dari 890.000-an per tahun yang mana ini masih butuh infrastruktur dan peningkatan produksi dalam negeri,” ucap Akhmad.
Akhmad menyarankan pemerintah mulai meningkatkan kapasitas pabrik dan mendiversifikasi bahan baku tak hanya bersumber dari tebu, tetapi diperluas ke singkong hingga sorgum.
Selain itu, Akhmad juga meminta pemerintah memberikan kepastian insentif bagi produsen agar produksi bioetanol diprioritaskan untuk sektor energi.
Selanjutnya, Akhmad meminta pemerintah merencanakan distribusi E10 secara matang agar pasokan tidak tersendat di wilayah tertentu.
“Dengan demikian, dukungan terhadap kebijakan E10 penting, tetapi pelaksanaannya harus realistis dan hati-hati supaya tidak menimbulkan masalah baru di sisi pasokan dan harga,” tegas dia.
“Kalau perlu ada program kerjasama dengan mitra petani lokal. Petani sebagai mitra akan memperoleh nilai tambah dari hasil panen, bukan hanya menjual sebagai bahan pangan, tetapi juga untuk energi,” ungkap Akhmad.
Bagaimanapun, Akhmad mengaku mendukung rencana mandatori E10 sebab sejalan dengan upaya pemerintah mengurangi ketergantungan impor BBM fosil, memperkuat baruan energi terbarukan, sekaligus mendorong industri bioetanol Tanah Air.
“Selain untuk mengurangi ketergantungan impor ini juga untuk akselerasi program NZE [net zero emission/emisi nol bersih] 2060. AS saja sudah E20, Brasil apalagi, E35 hingga E100, Thailand juga malah sudah E20. Indonesia mau tidak mau untuk mengurangi emisi atau polusi dari transportasi harus segera dimulai,” kata Akhmad.***