Paradigma Baru di Dunia Pariwisata Pasca Pandemi Covid 19
BI -Tren pariwisata global saat ini telah mengalami pergeseran yang tidak lagi bersifat konvensional, menurut penilaian Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia, Azril Azhari. Fenomena ini terjadi di berbagai negara, terutama setelah pandemi Covid-19 melanda dunia.
Azril Azhari mengemukakan pandangannya di Jakarta pada Minggu (6/8/2023), bahwa destinasi wisata kini bukan hanya sekadar tempat untuk dikunjungi, melainkan juga merupakan cara baru untuk memandang berbagai hal.
Dalam kurun waktu 2000-2020, dunia lebih mengutamakan pariwisata berkualitas. Namun, trennya telah beralih ke arah pariwisata yang lebih disesuaikan atau customize tourism. Paradigma ini menitikberatkan pada aspek personal turis yang semakin berkembang seiring kesadaran akan pentingnya kesehatan diri. Sebagai hasilnya, pariwisata saat ini menekankan pada keamanan dan keselamatan, hal ini bertumbuh signifikan setelah pandemi.
Azril menyatakan bahwa terdapat tiga unsur penting yang perlu diperhatikan dalam pariwisata berkualitas. Pertama, bukanlah kuantitas wisatawan yang dihitung, melainkan durasi waktu tinggal mereka di destinasi tersebut. Kedua, adalah pengeluaran yang dilakukan oleh wisatawan saat berbelanja, dan ketiga adalah penciptaan lapangan kerja.
Mengenai pengembangan lima destinasi superprioritas, Azril menekankan bahwa arah pengembangan perlu ditegaskan kembali. Meskipun telah dialokasikan triliunan rupiah untuk pengembangan lima kawasan tersebut, masyarakat di sekitar destinasi tersebut belum merasakan dampaknya secara signifikan. Pendapatan per kapita masyarakat belum mengalami peningkatan yang berarti.
Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) dan Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, Hariyadi Sukamdani, menyatakan bahwa dari lima destinasi superprioritas, hanya tiga di antaranya yang telah mencapai harapan yang diinginkan. Destinasi tersebut adalah Borobudur (Jawa Tengah), Danau Toba (Sumatera Utara), dan Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur).
Namun, untuk Mandalika (Nusa Tenggara Barat) dan Likupang (Sulawesi Utara), masih membutuhkan banyak perbaikan. Salah satu perbaikan yang diperlukan adalah peningkatan atraksi budaya yang menarik untuk memikat minat wisatawan.
Azril menyarankan agar gerakan wisatawan Nusantara tetap dikembangkan dengan baik, karena ketika dielaborasi dengan baik, wisatawan mancanegara akan tertarik untuk mengunjungi destinasi wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan Nusantara.
Dalam hal harga barang dan jasa, Azril menyatakan bahwa harus ada standar kualitas dan harga yang tidak semata-mata ditentukan oleh turis asing. Pemerintah perlu memastikan bahwa harga tetap adil dan bersaing untuk semua wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.**