Indonesia Menghadapi Tantangan Besar Dalam Penyediaan Perumahan

0
150

BI – Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengungkapkan fakta yang mengejutkan bahwa angka backlog perumahan di Indonesia masih sangat tinggi, mencapai 12,7 juta. Seakan mengisi bak yang tak pernah penuh, penyelesaian masalah ini dianggap sulit.

Menurut Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur dan Perumahan, Herry Trisaputra Zuna, setiap tahun ada penambahan sekitar 780 ribu rumah tangga yang memerlukan bantuan pemerintah untuk mendapatkan hunian. Ambisi Indonesia Emas 2045 tanpa backlog perumahan menjadi tantangan yang memerlukan upaya lebih besar.

Pemerintah harus mendorong penyediaan setidaknya 1,5 juta perumahan setiap tahunnya. Sayangnya, saat ini pemerintah hanya mampu mendorong sekitar 200-300 ribu perumahan per tahunnya, seperti yang diungkapkan oleh Herry dalam Forum Discussion Grup bersama Korpri dan BP Tapera.

Untuk menangani masalah backlog perumahan, pemerintah telah mengimplementasikan beberapa program seperti fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), subsidi bantuan uang muka (SBUM), dan Tapera. Namun, nyatanya, ketiga program ini belum mampu sepenuhnya membantu pemenuhan kebutuhan perumahan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sesuai dengan laporan Kementerian PUPR.

Herry menambahkan bahwa dengan kondisi yang demikian, saatnya bagi kita semua untuk merenung dan memikirkan peran masing-masing dalam menyelesaikan masalah ini.

Selain backlog perumahan, keberadaan rumah yang tidak layak huni juga menjadi perhatian utama. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), target penyediaan rumah layak huni minimal mencapai 70%. Namun, saat ini, baru tercapai sekitar 56,7% atau sekitar 7,8 juta rumah tangga yang dapat disebut sebagai hunian yang layak di Indonesia, menurut laporan Kementerian PUPR.

Masalah lainnya adalah pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat yang bekerja di sektor informal. Meskipun sektor ini memiliki jumlah tenaga kerja terbesar, dukungan pembiayaan perumahan untuk mereka masih sangat terbatas dibandingkan dengan sektor lainnya, seperti yang diungkapkan oleh Herry.

Menghadapi banyaknya permasalahan perumahan ini, Herry menyatakan pentingnya penguatan kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah. Menurutnya, masalah ini tidak bisa ditangani sepenuhnya oleh pemerintah pusat karena pemerintah daerah memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang kondisi lapangan dan data pendukungnya.

Herry juga menyoroti perlunya perubahan dalam Undang-Undang Nomor 23 yang membatasi peran pemerintah daerah dalam menangani masalah perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Dia berpendapat bahwa pemerintah kabupaten/kota seharusnya memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, saat ini, ketika pemerintah kabupaten/kota berusaha membantu, mereka dianggap melanggar undang-undang. Menurut Herry, inilah masalah mendasar yang harus diubah.**

Leave a reply